Di Muara Dua kami dijemput oleh Elvin. Saya biasa memangggilnya
kakak karena memang usianya lebih tua. Kak Elvin setahun belakangan bertugas
sebagai guru di SMK negeri 1 Oku selatan. Saya dan Kicik beristrahat sejenak di
tempat kak Elvin sebelum esok pagi akan melanjutkan perjalanan ke Sungai Are.
Dari Muara Dua ke Sungai Are bisa dilanjutkan dengan travel, tarif ongkos 30
ribu. Namun, kali ini kak Elvin men serve kami dengan mobil pribadinya so bisa
hemat ongkos dong. Hehhehe.
Kami berangkat pukul 7 dengan menjemput satu member vacation lagi Wego, ia
siswa kak Elvin yg indekost di dekat sekolah, rumah orangtuanya ada di
Bengkulu. Tipikal siswa dari dusun, sebutan desa di daerah sumsel, yang
indekost karena bersekolah banyak terjadi. Sebabnya, biasanya di dusun mereka,
hanya tersedia sedikit sekolah dengan fasilitas dan kualitas yg belum memadai.
Ini juga terjadi dengan kak Elvin, sejak tingkatan sekolah menengah ia sudah
merantau sekolah di Baturaja, ibukota kab OKU, yang berjarak 165 km dari dusunnya.
Okey, back to the trip, Wego didaulat sebagai driver, sebab jalan yg kami
lalui bertipikal pegunungan yg membutuhkan skill setir dari orang yg sudah
biasa melalui jalan itu. Kedekatan kak Elvin dan Wego memang tidak kaku seperti
guru dan siswa pada umumnya, di luar kelas mereka menempatkan diri sebagai
teman ngegahol.
Next story ya gaes, setelah sarapan kami mulai berangkat. Karena ini musim
durian, maka di sepanjang jalan banyak sekali penjual durian langsung di
pinggir kebun mereka. Selanjutnya mobil melaju bersahaja, kami menikmati
perjalanan dengan bentang alam yg bagiku kontras dengan keramaian Surabaya.
Kebetulan ini hari ini libur Imlek, jadi jalanan sepi. Kondisinya jalanan di
lingar selatan Bukit Barisan ini baik, aspalnya mulus dengan kelokan yg tidak
begitu curam tajam. Hanya yg membahayakan adalah longsor dan jalanan sempit yg
berbatasan langsung dengan jurang. But easy, Wego sudah expert dengan kondisi
jalanan ini.
Perjalanan ke kecamatan Sungai Are tepatnya desa Simpang Luas dapat kami
jangkau setelah melewati 22 desa dan 3 kecamatan dengan waktu 3 jam. Karena
kecamatan Sungai Are terkenal sebagai penghasil kopi utama di provinsi ini,
maka tumbuhan ini mudah dijumpai di sepanjang perjalanan.
Di beberapa daerah sebelum masuk ke desa Simpang Luas, desa kak Elvin, desa
yang didiami suku dayo terlihat kopi-kopi yang dijemur di aspal. Aku heran
karena Wego tak menghindar dari gundukan jemur kopi dijalan, ternyata ini sengaja
dilakukan. Sebab, panasnya aspal membuat kopi lebih cepat kering dan lindasan
kendaraan yg lewat makin memudahkan pemecahan biji kopi untuk selanjutnya
digiling.
Kopi yang sengaja disebaar di jalanan di dusun Suku Dayo |
Selama perjalanan kami pun mampir ke Kalangan. Kalangan adalah pasar di
dusun yg dibuka sekali atau 2 kali dalam seminggu. Hari dimana ada Kalangan
berbeda tergatung kebiasaan dusun itu. Di desa Dumo Kalangan ada seminggu
sekali pada hari Kamis. Kalangan adalah event mingguan yang ditunggu warga
karena akan banyak penjual dari dusun dan luar daerah yg menjajakan bermacam
kebutuhan. Mulai dari kebutuhan rumah tangga, sandang, aksesoris, obat-obatan
hingga onderdil kendaraan bermotor. Penjual yang berjualan adalah memang
pedagang yang sengaja membawa dagangan dari kota atau petani yang menjajakan
hasil bumi yang mereka olah sendiri.
Saya kemudian tertarik untuk membeli sedikit Duku, buah khas Palembang, dan
pisang putri. Duku dihargai 8000 per kilonya, ini termasuk mahal sebab sekarang
bukan musim duku, dan pisang yg dihargai 2000 rupiah. Harganya yg bagi saya
murah dibandingkan dengan nominal yg biasa dijajakkan di pasar ibukota, yap,
sebab saya membeli langsung dr produsen tangan pertama.
Membeli Duku di pasar Kalangan |
Di kalangan saya menjumpai beberapa penjual yg fasih berbahasa jawa, banyak
dari mereka adalah transmigran yg kemudian sukses mengelola kebun di tanah
sumatra yg subur ini. Salah satu keuntungan tambahan dari hidup nomaden adalah
megerti banyak Bahasa lokal. Dan ketika penjaja Kalangan ini saya sapa santun
dalam Bahasa jawa, alhasil dapet diskonan deh. Hehehhe.
Setelah dari kalangan kami kemudian berhenti di pinggir kebun duren. Di
beberapa desa yg dilewati, penjaja durian kerap nampak, sebab ini musim durian.
Wego berhenti sejenak sekedar untuk memberikan buah tangan bagi neneknya di
Sungai Are, 3 buah ukuran sedang dihargai 15 ribu, penjual juga mempersilahkan
jika tertarik masuk ke dalam kebunnya untuk mencari durian matang yang baru
saja runtuh, namun sayang kami diburu waktu.
Duren langsung di kebunnya |
Menjelang tengah hari pukul 11 siang kamipun tiba di kecamatan Sungai Are,
tepatnya di desa Simpang Luas, tanah kelahiran kak Elvin
.
Desa ini terletak menjorok pada lembah bukit gajah yg merupakan bagian dari
rentetan pegunungan Bukit Barisan. Sehingga, di perjalanan, kami dapat melihat
letak pemukiman yg berkelompok dr jalanan di atas bukit. Lebih menariknya lagi,
desa ini dekat dengan sungai yg mengalir deras dan bersih, lebih bening dari
sungai Ello, Progo, Serayu, Bogowonto dan sungai2 yg pernah kuarungi di pulau Jawa.
Hawa khas pegunungan yg sejuk sudah barang pasti menempa pipiku yg belakangan
kisut terkena polusi Hahahha…
0 comments:
Post a Comment