Hatta, buku yang tak pernah tamat dibaca, tulis kontributor Tempo sebagai hadiah satu abad Hatta. Jasa dan pemikiran Hatta telah melampaui batasan imaji, namun jika harus difokuskan pada satu, aku memilih kekuatan belajar sebagai teladan dari Hatta.
Syahdan, kekuatan belajar Hatta terlihat sejak kecil. Selain bermain kapal-kapalan kaleng bersama Rasjid Manggis di tebat di sebelah surau Inyiek Djambek sembari menunggu waktu mengaji, sebagian besar waktu Hatta dihabiskan untuk belajar. Siang hari ia belajar di Sekolah Melayu Paripat dan pada petang ia akan mendatangi Tuan Ledebour untuk belajar bahasa Belanda. Pasca menempuh pendidikan di Padang, poliglot ini kemudian hijrah ke Jakarta. Tahun 1921, Hatta tercatat sebagai awardee beasiswa Van Deventer di Handels Hogenschol (sekarang Erasmus University) Rotterdam. Sepekan di Rotterdam, Nazir Sutan Pamuntjak menyambangi Hatta dan mengajajaknya bergabung dengan Indische Vereeniging.
Tahun 1928 Hatta dipenjarakan pemerintah Belanda. Pada posisi tubuh terkeragkeng, Hatta dengan kekuatan belajarnya membuahkan pledoi fenomenal yang berjudul “Indonesie Vrij“, yang kemudian membebaskannya. Dalam tulisan yang kini naskah cetak aslinya terawat baik di Bronbeek Museum Arnheim Belanda itu Hatta tidak hanya menyoal kekejaman kolonialisme Belanda, tapi juga menuntut Indonesia Merdeka.
Tahun 1932, Hatta pulang dan memimpin PNI Baru bersama Sjahrir. Awal perjuangannya di tanah air diisi dengan menulis di harian Daulat Ra’jat dengan terus menyuarakan propaganda non-kooperasi terhadap Belanda. Tulisan-tulisannya kemudian membuatnya dan Sjahrir dianggap berbahaya dan dibuang ke Bouven Digul, dataran pembuangan tahanan politik di udik Papua yang dibangun Gubernur Jendral De Graeff pada 1927.
Dikisahkan bahwa Digul bukanlah Gulag, Russia. Di Digul hanya tersedia dataran yang dikurung rimba dan paya-paya sebagai ekosistem terbaik nyamuk berplasmodium. Sebegitu terpencilnya Digul, sehingga tempat terdekat yang dapat ditempuh adalah Tual, kota pelabuhan kecil di Maluku, yang membutuhkan 50 jam pelayaran atau Thursday Island, Australia, yang untuk mencapainya, seseorang harus menghilir 455 kilometer di sepanjang sungai Digul (kira-kira sejarak Semarang- Jakarta) yang penuh dengan buaya sebelum melewati selat Torres yang buas itu.
Menjalani pesakitan lantas tidak membuat semangat perjuangan Hatta surut. Ia tetap lantang dengan tulisan-tulisan tajamnya meskipun raganya terasingkan. 10 bulan berada di Digul, yuridis Hindia Belanda memindahkan mereka ke Banda Neira, negeri Dewi Lawerani di tanah Maluku. Hatta terus belajar dan menulis dengan 16 peti buku-bukunya hingga akhirnya melahirkan analekta “Pengantar ke Jalan Ilmu dan Pengetahuan” dan “Alam Pikiran Yunani” yang kelak dipersembahkannya kepada Rahmi Rachim sebagai mas kawin.
Hatta pemuda rantau yang hidup di lingkungan puritan, tetap memiliki kelembutan hati. Terbukti, saat berada di pegasingan ia dekat dengan anak-anak. Adalah Des, Does, Lily, Mimi dan Ani, anak-anak yang disebut Hatta dalam memoarnya sebagai obat hati yang luka. Des menceritakan bahwa dulu Hatta memang pendiam namun dekat dengan anak-anak. Hatta mengajari mereka, bermain bersama dan membuatkan makanan di camp pengasingannya. Banda Neira telah menyita sebagian ruang hati Hatta,dituturkan Halida, putri ketiga Hatta, 38 tahun selepas masa pengasingan, tepatnya pada September 1973, Hatta dan keluarga bersedia datang ke Banda Neira atas undangan Des Alwi.
Orang yang pandai dan beradab tidak akan tinggal di kampung halaman, begitu tertulis dalam syair Imam Syafi’i. Lepas dari bangku kuliah, aku tak mau berhenti belajar. Aku kemudian mendaftar sebagai bagian dari Pemuda Sarjana Penggerak Pembangunan Pedesaan (PSP3), sebuah program pemuda pemberdaya masyarakat yang dibesut Kementerian Pemuda dan Olahraga. Sebagai utusan terbaik dari provinsi Sumatera Selatan, bersama 999 pemuda, aku akan dikirim lintas pulau untuk bisa membangun wilayah desa penugasan. Setelah menjalani pelatihan di RINDAM JAYA, kemudian aku akan bertugas di desa Sentonorejo, Kec Trowulan, Kabupaten Mojokerto selama dua tahun. Bak gayung bersambut, aku ditugaskan hanya 50 km dari Pare yang artinya memungkinkan bagiku untuk berkegiatan di desa sekaligus belajar.
Aku datang ke Pare dengan kepercayaan diri tinggi dan memilih program IELTS dengan metode privat. Belajar IELTS mengajariku menjauhi kesombongan. Di 2 minggu pertama, aku sungguh percaya diri mengerjakan modul, jam belajarku dari jam 7 pagi hingga 9 malam. Namun ketika mengerjakan simulasi 2 sub tes, hasilku jauh dari rata-rata. Aku lalai bahwa beberapa kata benda jamak mengiginkan tambahan “s/es” atau aku menuliskan nama kota tanpa diawali huruf kapital atau tak ku bubuhkan titik di akhir kalimat. Sederhana memang, namun kesalahan seperti ini tak diperkenankan di IELTS. Akhirnya ketika evaluasi, tutorku marah besar. Beliau sungguh tak menyukai insan yang mendangak dan kemudian meremehkan sesuatu yang kecil. Saat itu beliau memberiku 2 pilihan, memberi satu kesempatan berubah atau mempersilahkanku mengambil semua biaya belajar dan mencari tutor lain.
Kelemahan terbesarku ada pada kemampuan menulis. Aku tak paham grammar, kohesi dan koherensi tulisanku juga amburadul. Khusus writing, kami selalu diminta meng-upload tulisan kami di forum internasional yang berpusat di Amerika. Selama 6 bulan belajar IELTS, tak satupun feedback pujian yang datang padaku. Suatu hari tutorku menyarankan untuk mendaftar sebagai kontributor forum, yang artinya profilku akan masuk ke dalam website dan aku dianggap cukup mampu untuk memberikan koreksi pada essay-essay anggota forum dari seluruh dunia. Tak mudah memang diterima sebagai kontributor, admin akan melihat track record kita di website baik ketika kita menulis maupun mengkritisi tulisan member lain. Setelah berbulan bulan belajar menulis, akhirnya aku memberanikan diri untuk mendaftar dan kini akupun resmi menjadi kontributor di www.essayforum.com
Aku adalah perintis dari terbentuknya perpustakaan dan kelompok belajar Bagoes di desa Sentonorejo. Kegiatan yang awalnya hanya kami kerjakan berdua, kini sudah memiliki 38 siswa belajar reguler. Di Bagoes, awalnya, kami menawarkan 2 kali seminggu pertemuan untuk pelajaran bahasa inggris dan komputer untuk pemuda/pemudi desa, gratis, dengan syarat nantinya mereka bersedia membantu mengajar. Strategi berhasil, maka aku pun mengajak siswa sekolah untuk belajar bersama kami. Hingga sekarang siswa bertambah dan jadwal belajar diperbanyak 6 hari dalam seminggu. Aku bahagia bahwa anak-anak kerasan belajar. Jauh diujung harap, aku ingin bahwa yang kulakukan dapat bermanfaat bagi anak-anak desa Sentonorejo hingga kelak nanti mereka mengingatku, seperti Des Alwi mengingat Hatta.
Kekuatan belajarku tentu jauh jika didudukkan dengan belajarnya Hatta. Hatta adalah satu dari pembelajar yang sangat mengispirasi. Sehingga sapaan Bung, gelar bapak Koperasi atau penghormatan nama jalan-jalan protokol, bandara, monumen, penganugerahan gelar pahlawan nasional, pujian syair lagu Iwan Fals dan rencana Erwin Arnada untuk membuatkan Hatta Film sungguh tidaklah berlebihan. Amalan Ilmu bermanfaat Hatta yang tak terputus adalah buku yang tak pernah tamat dibaca.
0 comments:
Post a Comment