Terima kasih Kung

Malam itu, September 2015, suasana Pare tetap sama seperti biasanya. Para pencari (bukan tuhan, dikira sinetron kali ya) jati diri ada disini. Jati diri bagi gue adalah sesuatu yang dicari yang dapat meyakinkan individu untuk melangkah kedepan. Langkah kedepan yang mayor gue lihat dari spesies-spesies disini simple “I wanna go abroad”, entah untuk belajar, jalan-jalan, kerja atau mungkin mengejar impian mendapat pasangan Caucasian. Kesamaan ini kemudian yang membuat mereka bersatu padu, duduk, membaca, berlatih hingga mengimpikan skill bahasa Inggris to be their second nature.

Gue udah bolak-balik dan selalu cinta dengan Pare, kenapa? sebab impian gue selalu hidup dan menemukan vibrasinya disini. Selain itu, di Pare gue menemukan arti belajar sebagai kebutuhan, saat gue butuh maka gue kejar terus dong. Sama seperti jika kalian butuh sebuah pelukan maka kalian akan cari lengan hangat terbuka itu hingga damai pelukan kalian dapatkan. Wait! ini bukan hanya pelukan dalam arti erotis ya. Hmm…

Kali ini gue dateng untuk belajar GRE (Graduate Records Examination). GRE itu salah satu jenis prasyarat untuk mereka-mereka yang ingin melanjutkan studi graduate di United States (US). Pare (bagi gue) adalah Mizu Eddy, Tenzing Norgay nya gue ini. Seorang yang gue anggap punya bermimpi untuk mewujudkan impian orang Endonesah yang ingin terbang ke English Speaking Country. Maka, datang ke Pare sama dengan datang ke Mizu Eddy.

“Saya gabisa ajarkan kau GRE Syerapke. Saya gabisa matematika oleh karena itu saya ga lulus GMAT (Graduate Management Admission Test) itu juga sebab sekolah MBA saya ga selesai. Saya bisa bantu kasih kau environment untuk belajar, you can study here in a rule, speak English” begitu yang Mizu katakan saat itu. “But wait!, maybe BJ can help you. Kau tau kan teman kita yang dari Jakarta, BJ…BJ… Juang?”. Mizu kembali mengulang nama itu dan gue tetap memandang kosong mencoba mengingat kemudian menggeleng. “Siapa BJ Mizu, saya ga tau belum pernah ketemu?” “Ah Kau ini, teman kita itu, Tia saja tau, kau ini lupa terus kek nenek-nenek saja”, Mizu kemudian berlalu dan sekejab kembali dengan seorang pria jangkung, ia datang terburu dengan kacamata Ray Ban leopard, menggedong Macbook yang masih menyala lengkap dengan kabel earphone yang menggantung.

“BJ, ini mbak Sekar, dia mau belajar GRE tapi punya kesulitan di Matematika, coba diguide sources yang mungkin bisa dipakai.” “Baik Mizu”, jawab BJ. “Mbak bisa buka khanacademy.org itu free online course dan ada materi tentang matematika. Log in nya bisa lewat Facebook, lalu ikutin aja instruksinya”, BJ memperlihatkan source yang dia maksud di Mac nya. “Prinsipnya satu mba (berasa tuir banget ni gue -.-“), ikutin aja, dan jangan penah underestimate sama yang printil-printil misalnya tambah-tambahan kek anak TK, nanti jenjang soalnya akan naik sesuai dengan progres yang mba buat. Ini personal banget kok. Dan jika mba kesulitan ada video tutorial dan bantuan hints yang bisa dipilih. Jadi progressnya sesuai dengan kemampuan masing-masing”. “Ok, mas coba saya liat-liat dulu, nanti jika ada kesulitan, tolong dibantu ya” (udah kek pak Tarno ga sih). “Siap mba”, BJ berlalu kembali ke kelasnya.


BJ itu singkatan gahol dari Bagus Juang, sebuah nama yang secara de jure sah punya nya doski. Spesies-spesies disini sering manggil doski Juju, Juang, BJ tapi badannya yang menjulang memicu desire gue mengaitkan dengan Jangkung, Kung, Kakung, Akung-Akung atau apalah itu. Selain berdekatan dengan Jangkung, Kung juga ber-sufix homofon dari Akung sebagai metafora dari “tua”, ini korelasi ngawur #abaikan. Ini bisa juga disebut balas dendam dari ketidakterimaan gue dipanggil Mba malam itu.

Lalu kenapa gue merasa perlu berterimakasih ke si Kung ? Yah pengen aja. Dan jelas jawaban model begini yang ga bakal Kung suka. There should be some supporting arguments that can construct on why you take such assumption, “Kaga bisa dong ngawur, lu butuh alasan untuk sesuatu”, buset ribet bener yah. Emang kurang tepat kah jika kita melakukan sesuatu yang kita inginkan tanpa alasan logis? Tanpa dasar yang kuat untuk ditapaki, tanpa elaborasi dan korelasi andal atau tanpa pembuktian hipotesis dengan kecenderungan hasil mendekati nilai exact 1 ??????  Well… gue akan jawab kenapa. Tentunya dengan logika versi gue, intuisi gue, anggapan gue, perasaan gue, this is all about me dan suka-suka gue. Catet !

1. Karena si Kung menjelaskan ke gue kenapa 1 dibagi 0 (nol) itu tak terhingga

Sebagai catatan, kadang gue melabel diri gue introvert. Gue betah tu sibuk sendiri walapun di sebelah gue ada orang lain. Ngobrol dan berinteraksi bagi gue adalah sesuatu yang optional.

Hari berikutnya, gue sudah mulai self-study dan memilih opsi menghiraukan sekitar. Dua hari gue bertapa di gua Hira (baca: my private class), Kung datang dan menanyakan progres gue di Khanacademy. Bagi gue seorang yang datang dan menanyakan sesuatu kemungkinan punya dua tujuan, kepo atau perhatian. Entah Kung datang untuk salah satu dari itu atau mungkin, bagi dia, selain dari keduanya. Tapi, gue berterimakasih karena momen itu berhasil mengukir jaras pemahaman berbeda tentang matematika di kepala gue. Kung menjabarkan dengan baik fungsi matematika lebih dari sekedar hitung-hitung ngerjain ulangan sekolah, atau tung-itung statistik tentang riset lu. Tapi matematika adalah sebuah tool prediktif untuk segala yang terjadi di alam semesta. Dengan angka dan matematika kita bisa mempertimbangkan banyak hal, jarak, ruang, waktu, kecepatan, probabilitas yang kemudian lebih lanjut digunakan untuk memprediksi solusi. Bukankan solusi itu adalah tujuan pencarian?

Angka bukan hanya hasil simbol paripurna peradaban manusia dari era suku Maya hingga era digital sekarang. Gue bilang angka itu ibarat bayangan, ngapain dan dimanapun elu akan ada itu. Lu bangun liat jam di smartphone ada angka, orang meninggal pun akan lekat dengan angka, setidaknya ada angka (tanggal lahir dan wafat) yang ditulis di nisan.

Jika satu (1) diibaratkan nilai mutlak, maka akan perjalanan dari 0 (nol) ke satu itu bukan sekedar garis linear yang ditarik dari garis bilangan. Ada jarak di antara keduanya. Antara mereka (0-1) ada 0.1, 0.2,… 0.9757598645476460 dst yang itu masih dibawah 1, kebayang ga kalian ? Lalu jika lu bagi satu (1 ) dengan sepuluh (10) akan didapat 0.1, 1 dibagi 100 hasilnya 0,01, lalu bagaimana jika 1 dibagi 10000000000000000000000000000000, akan didapat enol koma banyak juga. Dan hasil pembagiannya itu itu masih dibawah 1. Bayangkan juga jika 1 yang mutlak itu dibagi 0 (nol)? Berapa angka yang didapat? Maka 1 dibagi 0 itu ∞ (tak terhingga), CCIMW :D please

Gue percaya banyak oang di luar sana yang paham atau mungkin lebih (((wow))) menjelaskan tentang ini. Tapi kenapa gue hanya berterimakasih ke Kung. Sebab hanya dia yang datang menjelaskannya ke gue. Lalu muncul lagi pertanyaan?  Lah kalau memang gue akan amaze dengan penjelasan macam ini, kenapa ga berterimakasih dengan Herbert Gross atau Matematikawan mumpuni yang menjelaskan hal sama di internet? Sebab dengan cara ini gue harus nyari, tapi Kung DATANG dan memberikan pencerahan atas ketidaktahuan yang ga berusaha gue cari penjelasannya. In a nutshell, why I thank to him, because he comes to me.


2. Karena Kung paham teori Freud lebih baik dari gue yang punya ijazah psikologi ini

Sejak perbicangan tentang matematika dan angka, banyak lagi hal yang Kung bagi ke gue. Dan dia kagak manggil gue mbak lagi, hahahhahahha. Kung kemudian membagi banyak tentang filsafat. Gue kira karena basic gue psikologi, Kung akan mengira banyak yang bisa kami diskusikan tentang filsafat. Unfortunately, he totally wrong. Elmu gue kebanting, gue melongo aja ketika dia menjabarkan pandangan Descartes, Sartre, Foucault, Popper dan siapalah itu. Sering ni kejadian kek begini ni “Kalo katanya Descartes gini ni xxxxxx, pernah denger kan?” atau “Katanya Marx gini xxxxx, tau kan lo Kar?” dan gue menggeleng, Zzzz. Well, walaupun gitu obrolan tak seimbang ini tetap asyik, sebab Kung dengan senang hati menjelaskan dengan luas (panjang x lebar) apa yang belum baik gue pahami. Sering juga dia kasih link bacaan buat gue. “Coba lu liat disini nih Kar”, sambil nunjukin gadget mahaLL nya

Kung punya ketertarikan tentang filsafat dan sciece. Bagi dia, selain metode empiris, sistematis dan kemampuan falsifikasi, elemen penting science lain adalah kemampuan prediktifnya. Dengan science kita bisa memprediksi kuat gempa di suatu tempat, performansi atlet, unsur kimia untuk obat tertentu, dan sebagainya. Jika banyak ahli/cendekia/ expert/professor di muka bumi kenapa masih banyak masalah tak terprediksikan? Untuk membahas ini coba kita kesampingkan bahwa manusia tidak akan tahu apa yang terjadi di masa depan ya. Well ambil contoh, kenapa setelah kejadian 11/9 banyak sekali mereka yang berlabel ahli menjabarkan sebab kenapa itu terjadi? Mereka menjelaskan 11/9 terjadi karena A, B, C, D dll. Tapi berapa banyak ahli yang terdeteksi memprediksi kejadian ini sebelumnya? Berapa banyak ahli Hankam yang menggunakan basic science nya untuk memprediksi ini. Kenapa para ahli baru bermunculan dengan penjabarannya setelah jatuh ribuan korban? Bukankah jika fungsi prediktif science berjalan, mitigasi akan efektif, jumlah korban bisa diminimalisir atau mungkin mengelak dari bencana bukan hanya issue semata?

Obrolan berlanjut,
“Gimana menurut lu tentang teori Freud, Kar?” “Freud itu negatif melihat manusia, setiap orang punya potensi besar mengembangkan gangguan jiwa, emang menurut lu gimana Kung?” jawab gue PD.  “Yang gue kurang sepakat dari Freud adalah dia bisa menjabarkan kalo seorang dengan gangguan mental itu disebabkan oleh fase hidup kebelakangnya yang patologis, Oedipus Complex lah, fase Anal, Phalic yang abnormal lah, tapi apakah Freud pernah menjelaskan apa yang bisa kita lalukan kedepannya supaya prognosis pasien ini makin baik, atau agar supaya ga kejadian kek begitu lagi di orang lain? Mana fungsi prediktifnya? lalu kapan kita bisa mendapatkan solusi bukan sekedar penjelasan atas sesuatu yang ga bisa kita ubah, kecuali lu punya mesin waktunya Doraemon. “

Kung adalah seorang engineer di proyek MRT yang pernah mengenyam studi master filsafat di kampus paling kece di Depok Raya. Dan dengan background ini, ngapain juga dia ngulik-ngulik tentang psikologi kecuali kalau dia penasaran dan merasa perlu mencari jawaban. Ini yang kemudian menimbulkan sisi reflektif ke gue. “Kung aja mau belajar, dia mau membaca, dia mau tahu, dia mencari dan jika gue mau tau tapi gamau mencari bagaimana gue bisa tau?” Bagi gue, Kung mengajarkan bahwa belajar itu ga boleh egois. Elu ga boleh ego bahwa disiplin ilmu elu itu yang paling mumpuni. Jika ini terjadi, maka ini yang kemudian (sadar atau tidak) menggiring seseorang untuk meremehkan disiplin lain diluar yang dia geluti. Ah, apaan sih belajar Hukum, kerjaannya cuma ngurusin pertikaian. Ngapain sih belajar Pertanian, orang itu butuh Ekonomi agar hidupnya sejahtera. Ngapain juga belajar Budaya, toh perbedaan itu sudah ada dari sononya?  Mau elu jadi orang kek gini?

Lu harus tahu, lu harus paham untuk bisa mengerti, dengan begitu lu bisa menghargai dan berempati. Dengan menghargai maka hati lu akan lapang, hidup lu damai. Kalau lu pengen seperti itu, bagimana caranya lu tahu? Cari tahu, baca, iqra.

3. Karena Kung minjemin gue Buku
Salep bukan sembarang salep, salep ini dijamin ampuh.
Buku bukan sembarang buku, dengan buku dijamin bakal luluh.
#apaan coba

Suatu waktu, gue sempat roadshow ke Semarang dan Surabaya untuk beberapa urusan. Dan insight gue kalau gue butuh lebih banyak baca terdorong disana. Orang-orang kaya yang gue temui bukan hanya mereka yang kaya secara materi, namun juga kaya isi kepalanya. Lalu, pada suatu waktu gue pernah bilang “Kung, ajari gue baca dong?” dan dia kasih gue pinjem Mortimer J Adler judulnya; How to read a book. Buku ini menarik, sebab Mortimer menuliskan bukunya seperti berbicara. Pas gue baca, gue ngerasa seolah-olah mbah Mortimer ini lagi story telling di depan gue, interaktif banget lah. Dan percayakah kalian, penyakit ngantuk mendadak gue saat itu sembuh. Baru seperlima bagian buku yang gue baca dan sedikit yang bisa gue bagi. Pembaca seharusnya tau tujuan dia membaca dan buku apa yang ia baca. Apakah ia membaca untuk mencari pengetahuan, mencari berita atau menghibur diri. Ia juga tahu ini jenis bacaan textbook, majalah, komik atau lainnya. Jika ini sudah jelas maka skill membaca yang selanjutnya bermain. ada juga level dan stage dari pembaca, tapi apapun itu tujuan membaca adalah mendapatkan pemahaman, understanding. Oh iya, di buku ini juga dijelaskan bahwa speed reading itu ternyata tidak melulu yang terbaik, tergantung kondisi juga. Pembaca yang baik akan bisa memvariasikan kecepatan membacanya tergantung tujuan, pemahaman dan jenis tulisan yang dibaca.

Dulu, gue selalu menganggap membaca itu obat tidur dan ga cool. Ngapain juga cuma duduk diem melolot mantengin buku. Lebih keren aktivitas outdoor kemana-mana kali. Tapi ternyata anggapan gue ga selamanya benar. Sejak Kung berbagi tentang kenapa dia suka baca dan banyak hal yang bisa dia ceritakan ke gue, mengaitkan satu dan lain hal yang gue ga kepikiran, maka fix keknya gue butuh baca lebih banyak deh. Baca buku ya bukan baca update-an status di medsos. Zzzz.

Ketiga alasan diatas diatas bagi gue refleksinya dalem sih. Utamanya tentang belajar dan membaca. Gue juga mendapat perspektif baru tentang belajar di pendidikan tinggi. Awalnya gue mengejar pendidikan untuk sebuah pengalaman hidup di luar negeri, tapi gue lalai bahwa sebenarnya titik beratnya bukan pada tempatnya. Tapi pada diri elu sendiri. Belajar di luar negeri itu memang akan memberikan elu pengalaman hidup yang berbeda, tapi apalah artinya jika elu ga membekali diri dengan belajar dan banyak baca. Kalau berat di luar negerinya, yah kesono datang aja untuk jalan-jalan bukan untuk sekolah. Di salah satu obrolan gue dengan Kung, gue sepakat bahwa seorang PhD yang kece itu bukan karena dia pernah belajar di UK, Afrika, US, Lithuania, Indonesia, Moldova dll, tapi keren karena bacaan nya yang luas. Kalau gini, bisa dong kita bilang kalo DR dari Indonesia itu ga kalah dari PhD nya Harvard? IYA. Selama bacaan mereka sama-sama luas. Tapi kemudian apakah selalu akan seperti ini? Tentu ga menurut gue, lingkungan itu juga salah satu faktor penting penunjang keberhasilan seseorang.

Tetiba pengalaman obrolan gue mengingatkan gue dengan DR. Annastasia Ediati, mentor gue. Beliau bilang “Nduk kowe ki keakehan mikir tapi kurang moco”. DR Sam, mentor gue juga, selalu mengarahkan gue untuk mempertimbangkan koleksi literatur dan kemudahan akses antar perpustakaan di universitas yang gue tuju sebagai hal yang utama. Pak dosen Nugroho Ariyanto, mentor dan partner in crime gue, juga sambil slengek’an selalu menjawab keluh kesulitan gue kalo ga paham baca dengan “udah baca aja, kalo ngga ngerti buka kamus, baca lagi”. Gue tangkap mereka ingin berpesan, kalo lu pengen bisa baca, yah ga ad acara lain, BACA.

Pekerjaan selanjutnya adalah persisten. Ketika gue sudah menemukan feel nya, maka bagaimana gue manjaga supaya gue tetap mau melakukan itu berulang-ulang. Khusus untuk bacaan bahasa Inggris gue masih sama dengan elementary reader lain, tau kan elu sulitnya paham bacaan dengan bahasa alien yang ga kita ngerti. Tapi sulit bukan berarti ga mungkin kan. Kung cerita, “dulu awalnya gue juga ga ngerti tapi gue ulang-ulang terus Kar” Yah, everything seems hard in the beginning yah. Bukan kado mahal yang lu kasih tapi lebih dari itu, sebuah insight.


Thank You Kung.

0 comments:

Post a Comment

 

Flickr Photostream

Twitter Updates

Meet The Author

Hy, my name is Sekar Hanafi. A dynamic girl who really wants to explore many interesting things. Every time I try to do epokhe and this makes me curious about many things. As Lau-zhu said "a journey of a thousand miles must begin with single step", glad to me to share something less as the part of my long journey. Let's share and Carpe Diem ^.^