Bagaimana kompetisi berperan dalam kesehatan psikologis anak.
A translated article from Matt Richell. Published in The New York Times Online October 8, 2012
Sesaat sebelum tidur, dua anak berlarian menuju kamar mandi untuk menyikat giginya. Di perjalanan menuju kamar mandi, putraku yang berusia 4 tahun berkata pada adik perempuannya,“aku akan jadi pemenang, aku akan jadi pemenang!”
Disaat menyikat gigi, ternyata satu diantara anakku menampakkan jiwa kompetitifnya dan itu pun berlanjut ketika aku dan Milo bermain basket, dia berkata, “Aku yang jadi Yankees dan Ayah menjadi tim dikalahkannya.”
Sebuah artikel baru-baru ini telah menginformasikan tentang keyakinan Presiden Obama untuk menang. Ketika acara jamuan perpisahan dengan kelompok dokter-dokter muda, seorang kepala kelompok lawan memberikan beberapa pesan kehidupan: “Ketika nanti anda telah memiliki anak-anak, penting untuk membiarkan mereka menang,” ujarnya. Kemudian ia menambahkan, dengan sebuah senyuman, “hingga mereka berusia satu tahun” – hingga di titik anda bisa mulai menang kembali.
Walaupun hanya sekedar candaan, apakah pandangan tersebut benar? Apakah akan menjadi lebih baik untuk mengajarkan anak pelajaran hidup yang keras, seperti kepuasan dari sebuah kemenangan merupakan sesuatu yang lebih manis jika kamu mengetahui jatuh bangunnya mengalahkan ? atau akan lebih baik secara sederhana membiarkan seorang anak untuk menang dan menjadikan kemenangan menjadi bagian dari sesuatu yang menyenangkan ? atau apakah itu adalah sebuah strategi peningkatan kebahagiaan dan performa, walaupun hanya sekedar bermain Candyland?
“Fakta-fakta populer mensugestikan bahwa kompetisi adalah sesuatu yang destruktif, khususnya, namun tidak ekslusif untuk anak-anak” ujar Alfie Kohn, pengarang dan pembicara yang memandang kompetisi berdasarkan aspek negatifnya. Parahnya, hal tersebut secara luas diikuti kebanyakan pola asuh. “Ini adalah jalan beracun untuk membesarkan anak.”
“Fakta-fakta populer mensugestikan bahwa kompetisi adalah sesuatu yang destruktif, khususnya, namun tidak ekslusif untuk anak-anak” ujar Alfie Kohn, pengarang dan pembicara yang memandang kompetisi berdasarkan aspek negatifnya. Parahnya, hal tersebut secara luas diikuti kebanyakan pola asuh. “Ini adalah jalan beracun untuk membesarkan anak.”
Dia menambahkan, “Ketiadaan kompetisi sepertinya menjadi sebuah pertanda dari ekselensi dalam banyak upaya, berkebalikan dengan menerima kebijaksanaan.”
Mr. Kohn adalah seorang pemegang aturan. Menjadi sulit untuk menengahi kebenaran dari pandangannya dengan realita di kehidupan modern, mulai dari kompetisi perebutan kursi presiden hingga petandingan Olimpiade, dimana hanya akan ada tiga pemenang medali, dan beberapa dari mereka berdiri lebih tinggi daripada yang lainnya. Hal ini nampaknya menjadi tanggung jawab orangtua untuk mempersiapkan anak-anak mereka untuk menghadapi makin sedikitnya tempat-tempat dan penghargaaan-pernghargaan.
Kini para cendekia setuju bahwa kompetisi adalah sesuatu yang penting, sulit diubah dan esensial. Telah banyak penelitian yang menunjukkan bahwa dibawah kondisi-kondisi tertentu, kompetisi dapat meningkatkan performansi dan kebahagiaan. Individu akan menjadi lebih baik ketika mereka sedang berusaha untuk menang (dibandingkan dengan berusaha untuk tidak kalah), dan ketika mereka percaya diri. Hal ini juga membantu jika keuntungan dirasa sangat rendah dan motivasi yang timbul tidak hanya sekedar untuk menang, namun hingga mencapai taraf ahli.
Tetapi aku telah dikejutkan dengan penjelasan yang disetujui oleh banyak peneliti tentang pandangan Kohl bahwa kompetisi yang keras dan cepat, yang juga selalu kukatakan sebagai fakta dari kehidupan modern, dapat memicu kecemasan, membahayakan harga diri dan performansi, serta menjadikan keterpecahan.
Sebuah analisis yang di publikasikan dalam isu mendatang dari bulletin psikologi, sebuah jurnal dari American Psychological Association (APA), melihat bahwa ratusan penelitian tentang kompetisi dan performansi tidak menemukan hubungan yang jelas diantara keduanya. Kadangkala, nampaknya, kompetisi dapat meningkatkan performansi, namun rata-rata hal tersebut tidak terjadi.
Kemudian bagaimana menjawab pandangan-pandagan tentang mengalahkan dalam kompetisi? Aku kemudian mencoba merangkai sebuah jawaban, dengan menghubungkan beberapa nasehat bagaimana mengatasi anak laki-laki ku dengan I will crush you nya saat menyikat gigi.
Kabar gembiranya adalah terdapat kesempatan bagi orangtua untuk memulai dengan sesuatu yang baru ketika harus mendefinisikan kompetisi bagi anak-anak, David Shields, asisten profesor pada bagian psikologi pendidikan St. Louis College yang juga pendiri dari TrueCompetition.org, sebuah organisasi yang memfokuskan bahwa kompetisi untuk ekselensi, etika dan kesenangan.
Dr. Shield mengatakan “anak-anak memiliki pemahaman yang dangkal tentang kompetisi”. “Mereka mengetahui istilah “menang” yang digunakan di luaran sana."
Dengan kata lain, anak lelakiku nampaknya tidak berfikir mendalam tentang apa yang ia katakan saat ia ingin mengalahkanku. Sehingga, secarik nasihat Dr.Shield yang ditujukan padaku adalah “Biarkan ia bermain dengan fantasinya. Dan tak ada masalah tentang hal itu.”
Pertanyaan selanjutnya, apakah pelajaran parentingnya? Cobalah untuk mengubah lingkungan dari permainan yang anda mainkan dengan anak-anak, ujar Dr Shield, untuk menekankan kooperasi. Akupun telah mencoba melakukan sebuah upaya.
Aku dan Milo berada di ruang keluarga saat aku melakukan rencanaku. “Mari kita bermain lempar tangkap and kemudian dihitung berapa kali kita dapat melempar kembali bola dan sebaliknya”.
“Yeah”, milo menjawab, tentu saja. Dia kemudian berhenti sejenak. “Aku akan menangkap lebih banyak darimu ayah.”
Aku tak dapat mengendalikan tawaku. Aku tak khawatir dia akan menjadi satu dari Jerks, seorang pelempar siku dalam permainan baseball dan berjibaku di udara karena Jerks menangkap semuanya dengan kekuatan mereka.
Aku juga mendengar banyak dari teman-teman Milo, khususnya anak sulung, yang membicarakan tentang kemenangan, dengan semangat yang membara namun tanpa mengetahui pasti apakah maksud sebenarnya dan mengapa harus menang.
Aku telah menyelesaikan bagianku tentang nilai dari sebuah kompetisi, hampir semuanya masih samar. Selanjutnya, aku akan membicarakan hanya tentang kemenangan San Francisco Giants. Dia tahu bahwa seorang akan dipilih sebagai presiden dan yang lainnya tidak. Dia kemudian mendengar tentang pertandingan-pertandingan tenisku, dan tidak hanya ketika aku bermain bagus (Lihat gambar: Juara Tenis Erik van Dillen, kiri, bersama putranya Hague, 27, di lapangan miliknya)
John Tauer adalah seorang profesor psikologi di universitas St. Thomas di St. Paul, negara bagian Minnesota, yang merupakan tempat ia mempelajari tentang kompetisi dan pelatihan dalam tim basket putra. “Ketika saya mendengar solusi yang mendukung untuk pengeliminasian kompetisi,” Ujar Mr Tauer, “itu tidaklah realistis”.
“Semua orang tidak bisa menjadi dokter” ia menambahkan, sebagai contoh. “Anda tidak akan menjauh dari kompetisi kecuali anda menjauhi sistem dimana semua orang bisa mendapatkan apa yang mereka inginkan kapanpun mereka ingin.”
Dalam sebuah rangkaian penelitian selama lima tahun, Tauer telah meneliti bagaimana cara anak usia 9 hingga 14 tahun saat melakukan tembakan bebas di tiga situasi berbeda; ketika tanding satu lawan satu (kompetisi langsung); ketika kedua pemain bekerjasama untuk skor tertinggi (kooperasi); dan ketika dua pemain bergabung berpasangan dan mencoba mengalahkan cetakan angka pasangan lainya (kombinasi kooperasi dan kompetisi).
Pada situasi dimana kombinasi antara kooperasi dan kompetisi ternyata telah menghasilkan kepuasan yang lebih besar dan seringkali mendapat skor yang lebih besar pula. “Hal ini adalah sebuah konsistensi dari temuan yang telah kami dapat” ujar Dr. Tauer. “Anak-anak lebih memilih menggabungkan kompetisi dan kooperasi. Ini adalah sebuah peningkatan signifikan dalam kesenangan”.
Tetapi, apa yang terjadi jika seorang anak-anak laki-laki bermain sendiri, dengan saudara perempuannya atau dengan beberapa saudara lainnya?
Dr. Tauer memiliki beberapa saran; “walaupun secara mendasar anak-anak memiliki kebutuhan untuk menang, Dr Tauer berkata padaku, kebutuhan untuk merasa nyaman dan memiliki pandangan akurat tentang dunia akan lebih mendominasi.” Jadi jika aku membiarkan Milo menang setiap waktu, mungkin ia akan merasa senang, namun pada beberapa poin ia akan mengembangkan sebuah sense yang tidak baik. Milo perlu dibiarkan merasakan kekalahan, idealnya pada situasi ketika ia mendapatkan rekan/partner, dan ketika kooperasi dan keahlian menjadi bagian dari pertandingan tersebut.
“Salah satu dari alasan defisiensi terbesar dalam psikologi adalah menginginkan anak-anak selalu merasa baik dalam semua situasi”, ujar Dr Tauer. “Mencoba untuk menjauhi kompetisi berarti membuat kompetisi itu lebih bernilai dari yang seharusnya.”
Selanjutnya Dr. Tauer mengatakan, hal ini terjadi padanya. Tidak hanya sebagai peneliti maupun pelatih, tetapi sebagai orangtua dari 2 anak lelaki, usia 7 dan 10 tahun, yang keduanya memiliki tempramen kompetitif yang berbeda. Satu putranya tidak terlalu tertarik dengan kompetisi dan tidak akan bekerja keras kecuali pada hal yang terarah. “Anak, ujar Dr.Tauer dalam selipan pembicaraan, akan tertarik untuk menguasai suatu keahlian tertentu namun tetap akan kecewa jika tim mereka kalah.”
Selanjutnya, aku pun menilik saran dari seorang juara tenis Erik van Dillen yang pada tahun 1960an ketika berusia remaja telah menjadi pemain terbaik di negaranya. Dia menjadi juara piala Davis pada 1972, di nomer ganda putra dengan Stan Smith, dan sebagai tunggal putra ia mengalahkan John McEnroe di Wimbledon. Erik juga adalah seorang ayah dari 5 anak dan pemerhati parenting yang ku ketahui 5 tahun belakangan, saat aku menjadi teman sekaligus partner tenis nya pada beberapa kesempatan.
Menurut Erik, inti dari kompetisi kadangkala melupakan beberapa poin walaupun itu pada level kejuaraan. Pemain terbaik adalah penyelesai masalah karena mereka telah mengalahkan dalam pertandingan. Ketika seorang pemain/atlet berhasil mengalahkan pemain yang jauh lebih baik darinya, ia telah menjadikan tantangan sebagai pengalaman menyenangkan dari menyelesaikan sebuah persoalan. Menang atau kalah adalah sebuah pengukuran sederhana dari apakah mereka dapat menyelesaikan masalah atau sebaliknya.
Erik telah melihat bagaimana cara dari para atlet membawa kemampuan penyelesaian masalah kedalam kehidupan mereka dan Erik tidak menangkap penurunan harga diri ketika para atlet tersebut mengalami kekalahan atau peningkatan nilai ke’aku’an ketika mereka menang.
Berdasarkan semangat tadi, Mr van Dillen mempersembahkan anak-anaknya sebuah sajak “If” karya Rudyard Kipling yang mendukung pendewasaan jiwa untuk menghormati baik ketika menjadi seorang yang dengan jujur sukses memahami kesukesan atau hanya menjadi “pelakon” kesuksesan untuk mengelabui orang lain.
Berdasarkan apa yang kudengar dari Erik dan Dr.Tauer, aku dapat berangkat dari sebuah pertanyaan : “Seberapa sering seharusnya aku membiarkan Milo menang ?” atau “seberapa sering seharusnya aku mempersilahkan ia untuk kalah?”
Mungkin pertanyaan yang lebih relevan adalah, apakah arti dari menang atau kalah? Jawaban yang dapat diutarakan jauh lebih sedikit daripada kata-kata yang tersirat di TV. Sehingga menjadi mungkin bahwa apa yang seharusnya kulakukan adalah mengambil bobot dari kata-kata tersebut dan menghilangkan kepentingannya ketika menerima mereka sebagai fakta dalam kehidupan.
David Johnson, professor emeritus di University of Minnesota yang mempioneri bekerja pada suatu kondisi dimana kompetisi merupakan hal yang menyenangkan dan meningkatkan performansi, memberikan satu saran untuk mengubah budaya tentang kemenangan. “Buatlah Milo lebih percaya diri dibanding anak-anak lainnya. Arahkan ia untuk mengakui keunggulan dan usaha orang lain serta memberikan teriakan ketika melihat kesuksesan rekannya itu.”
“Dengan cara seperti itu, Dr Johnson menambahkan, ia akan mengembangkan semangat kerjasama walaupun berada di tengah kompetisi. Dan ketika ia kalah, sebagaimana hal tersebut mungkin terjadi, dia akan mendapat sebuah kebesaran hati untuk kembali. Dengan menekan kemenangan dan meletakkannya pada suatu penguasaan individidu dalam tim, kelas, negara bahkan tingkat dunia akan bertumbuh dengan proses.”
“Kreatifitas, inovasi dan keluaran produk yang berkualitas semua akan berkembang sebagai bakat alami mu dan performa dari orang lain”, kata Dr. Johnson.
Ini merupakan tugas berat dari orang tua untuk mencoba mengajarkan anak-anaknya dalam menempatkan kompetisi pada persppektif yang tepat, terutama pada budaya yang seringkali tak mendukung.
Ya, ini adalah tanggung jawab besar, ujarnya setuju sembari tertawa.
Aku telah berusaha melakukannya. Pada kesempatan lain aku dan Milo akan bermain bola, namun kali ini bersama dua temannya. Aku mendorongnya untuk memuji upaya dan keterampilan teman-temannya. Pada saat time out pertama, Milo berteriak memuji temannya. Kemudian teman-temannya melakukan hal yang sama.
“Good one,” Teriak Milo.
Yap, strategi berhasil. Beberapa hari selanjutnya, kami bermain bola kembali, namun kali ini Milo bermain dengan adik kecil perempuannya. Aku mengingatkan Milo untuk memacu semangat dan kerja keras adiknya itu.
“Ya aku tau Ayah,” Ujar Milo saat kami memukul bola.
Adiknya itu kemudian berteriak. “Aku yang akan menjadi juara!”
-SHanafi-
0 comments:
Post a Comment